“Gemuruh Dalam Jiwa”
……
Kini, Khadijah dan Arsil telah membicarakan waktu pernikahan dengan serius dan matang, tentunya dengan melibatkan Allah dan Orang tua mereka. Mereka pun mempersiapkannya sebaik mungkin. Mulai dari menyiapkan tanggal dan lokasi yang tepat, serta lain sebagainya.
Satu bulan berlalu, telah tibalah saatnya waktu pernikahan itu. Berjalan dengan baik, megah dan meriah. Memanggil mubaligh ternama untuk mengisi acara, mengundang tim gambus terbaik dan menyediakan hidangan begitu nikmat. Seluruh tamu undangan datang satu persatu dari sebelum acara akad hingga akhir acara resepsi. Semuanya dengan bahagia memberi do’a restu.
Saat di penghujung acara, datanglah Dokter Rifky dengan dua asisten perawatnya yang memang sedari tadi ditunggu kehadirannya oleh Khadijah. Arsil, Dokter Rifky dan kedua asisten itu saling terkejut secara bersamaan.
“Dokter Rifky?”
“Habibi?”
Ucap mereka berdua bersamaan.
“Kalian saling kenal, sebelumnya?” Tanya Khadijah
“I…i..iya,“ jawab mereka kembali bersamaan
Tiba-tiba salah satu asisten perawat Dokter Rifky dengan sepontan dan tidak sengaja berkata, “Lho, kamu Dek Habibi yang dulu dapat donor jantung dari Dokter Raihan langsung, kan? Wah sekarang sudah besar dan berpendidikan tinggi, ya? Hebat! Bahkan sekarang bisa nikahin Dosen Khadijah, istri Almarhum Dokter Raihan. Ini tidak sengaja atau memang amanah dari beliau?”
Dokter Rifky seketika meraih tangannya dan berbisik tegas, “Nauval..!”
“Astagfirullah, saya lupa, Dok. Bagaimana ini…?” sahut Nauval, salah seorang asisten pribadi Dokter Rifky
Seketika suasana menjadi hening penuh keterkejutan. Air mata berjatuhan satu persatu. Khadijah dan Arsil pun tersentak sedalam-dalamnya, lalu tiba-tiba Khadijah jatuh pingsan. Semua orang di tempat itu cemas dan segera menolong Khadijah. Dokter Rifky segera menanganinya.
***
Setelah seharian tak sadarkan diri, akhirnya tepat pukul 22 : 00 Khadijah siuman. Ia tanpak lemas tak berdaya, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia kecewa berat kepada Arsil. Dan Arsil pun sangat kecewa kepada dirinya sendiri.
Arsil yang sedari awal menemani Khadijah sadar merasa bersalah sedalam-dalamnya. Ia pasrah dengan apa yang akan dilakukan Khadijah terhadapnya. Betul, sebagaimana yang ia prediksi, Khadijah marah terhadapnya. “Kamu jahat, Arsil! Secara tidak langsung kamu telah membunuh laki-laki yang sangat berarti dalam hidup saya! Kamu sengaja menyembunyikan ini semua? Mengganti nama panggilanmu yang awalnya Habibi menjadi Arsil? Agar bisa menutupi kesalahanmu? Iya, Arsil?!”
“Tidak sama sekali terlintas pikiran seperti itu, sungguh saya……..” jawab Arsil yang terputus oleh perkataan Kadijah kembali
“Diam! Pergi kamu, pembunuh! Pergi…!!!” pinta Khadijah dengan berteriak
“Khadijah, kamu jangan seperti ini terhadap suamimu.” Ucap Rifky menyangkal
“Tidak apa, Dok. Saya memang salah. Saya akan pergi. Tapi sebelum itu, Khadijah… kalau kamu menginginkan jantung ini, dengan sangat ikhlas akan saya keluarkan dari tubuh saya. Kini saya paham, selama ini kamu hanya mencintai jantung yang ada dalam dada saya ini, bukan kepada diri saya pribadi.” Ucap Arsil dengan lelehan air mata yang tak kunjung henti melintasi pipinya
Khadijah membisu, lalu pingsan kembali. Arsil hendak menolong, namun ia merasa tidak pantas karena ia merasa dia sendirilah pelaku yang telah menyakiti Khadijah. Ia pun memilih pergi ke makam Dokter Raihan.
Sesampainya di lokasi, ia mendekati makam itu.
“Dokter, kenapa dokter mengorbankan nyawa sendiri demi saya yang sama sekali tidak dokter kenal? Untuk apa, dok…?!” Ucapnya terisak-isak sambil memegangi nisan makam itu
“Maaf kan saya, kehadiran saya malah membuat dokter dan istri dokter berpisah… maaf kan juga, karena dengan lancang saya mencintai istri dokter…” lanjutnya tetap dalam isakan
Tiba-tiba Aisyah mengirim pesan melalui WhatsApp. Awalnya tak ingin ia buka, beberapa jam ia hiraukan pesan panjang itu hingga tak terasa kumandang adzan subuh telah memanggil. Ya, semalaman penuh Arsil di samping makam Raihan, menangis dan meminta maaf penuh sesal. Dengan terpaksa ia segera pamit pada Raihan untuk mencari Mushola terdekat. Sedikit ia temui rasa tenang setelah berwudhu dan melaksanakan kewajiban. Dengan hati yang getir, ia membuka mushaf Al-Qur’an. Setelah selesai membaca tiga juz kalamullah, ia perbanyak istighfar sambil meluruskan kakinya. Ia pun melihat ponsel. Ternyata chat dari Aisyah cukup banyak. Ia sedikit jengkel dan risih, dan ia pun berniat untuk agar Aisyah berhenti mengirim pesan, namun ia urungkan niat itu. Ternyata pesan Aisyah berisi ilmu dan hikmah. Ia pun membaca satu persatu pesan itu.
Assalamu’alaikum.
Mohon maaf bila pesan ini menyita waktumu, Kak.
Aisyah hanya ingin mengingatkan, bahwa takdir Allah tak pantas kita tolak.
Tiada makluk yang tak diuji, sekalipun itu kekasih termulia-Nya,
semuanya rata mendapatkan ujian.
Bedanya, semua disesuaikan dengan level kemampuan yang kita miliki.
“Wabasyirish-shoobiriin” adalah ayat yang seharusnya menjadi penguat.
“Fabi ayyi aalaaa’i robbikuma tukadz-dziban” pun, seharusnya menjadi ayat pengingat.
Untuk urusan ini, Aisyah yakin kakak jauh lebih paham karena sudah dipelajari sejak kecil. Pun disertai dan diperlengkap di lembaga-lembaga pendidikan yang telah kakak lalui.
Kejar kembali ridho-Nya.
Tafakkuri dan syukuri yang telah terjadi, lalu gali hikmah sedalam-dalamnya.
Perjuangkan kembali cinta istrimu, karena itu memanglah kewajibanmu.
Aisyah sangat yakin, Dokter Raihan meridhoi cinta kalian.
Jantung adalah salah satu organ penopang hidup, bukan pengendali rasa.
Percayalah, rasa cinta kalian tumbuh memang atas dasar rahmat-Nya,
bukan semata-mata karena jantung yang bermuara dalam dadamu.
Itu tidak lebih hanya 30% sarana pendorong, bukan satu-satunya pencipta rasa.
Semangat!
Tepis bisikan syaithon yang berusaha mengendalikan iman!
Jangan kalah!
Jangan dengarkan dia!
***
Ternyata, sejak Arsil pergi, Khadijah telah dibawa dan dirawat di rumah sakit jiwa selama beberapa waktu. Karena tekanan depresi yang begitu tinggi. Jiwanya benar-benar membutuhkan ketenangan dan nutrisi. Namun meski demikian, akalnya masih sempurna. Ia masih melaksanakan sholat lima waktu walau dengan pandangan kosong. Dan ia pun masih sanggup melantunkan istighfar terus-menerus. Dan, ruang rawat serta penanganan Khadijah dibedakan dari pasien gangguan jiwa pada umumnya.
Saat itu, Arsil mencoba kembali ke rumahnya. Memohon do’a kepada bapaknya agar keadaan kembali pulih, membaik. Dengan restu dari sang ayah, Arsil menyusuri jalan untuk menuju rumah Khadijah. Ketika mengetuk pintu rumah Khadijah, pintu pun dibuka oleh asisten rumah tangga.
“Assalamu’alaikum, Bi. Khadijahnya, ada?”
“Wa’alaikum salam, Den. Mmm… Nyonya Khadijah lagi dirawat.”
“Sakit apa istri saya?”
“Mmm… Den Arsil silakan ke lokasi saja, saya kurang bisa menjelaskan. Sebentar saya catat alamatnya.”
“Oh, baik, Bik. Terimakasih.”
Dengan segera, Arsil pun meluncur dengan sepeda motornya. Betapa terkejutnya ia, karena rumah sakit yang ia tuju adalah rumah sakit jiwa. Ia pun segera menelpon asisten rumah tanga Khadijah.
“Maaf, Bi. Bibi tidak salah memberi alamat?”
“Tidak, Den. Itu memang benar. Silakan Aden masuk, lalu temui Nyonya terus minta penjelasan apa yang terjadi kepada Dokter Rifky.”
“Baik kalau begitu, terimakasih, Bi.”
“Iya, Den.”
Bersambung……………