“Ketika Kalam-Nya Telah Mendarah Daging Dalam Lubab“
…. Beberapa hari kemudian, tiba saatnya materi Tafsir Qur’an di semester 3. Ya, materi bu dosen ‘Khadijah’ favorite para mahasiswa karena selain penyampaiannya ringan dan mudah dipahami, beliau begitu ramah, mudah senyum, sangat membimbing dan cantik.
Saat beliau tiba di kelas, para maha siswa sudah beraiap-siap untuk menjawab salam beliu. Mulanya, Arsil heran mengapa mereka sebegitunya terhadap beliau, ditambah lagi ia sangat terkejut. Ternyata bu dosen Khodijah itu adalah Kak Khadijah yang baik hati yang selalu membantu dan mendukungnya kemarin-kemarin. Dua rasa tiba-tiba berkecambuk dalam perasaannya. Pertama, bersyukur karena memiliki dosen “masyaallah” sepertinya, yang kedua rasa takut. Takut yang ia sendiri tidak paham, namun lubabun nya (hati terdalam) sedikit membocorkan bisikan bahwa ia takut rasa kagum terhadap Khadijah meningkat karena sering berjumpa. Padahal dengan jarak usia, ilmu dan pengalaman yang jauh menurutnya sulit untuk menggapai Khadijah. Kemudian segera ia tepis jauh-jauh besitan itu.
…..
“Sudah siap belajar? Sudah punya wudhu semua?” Tanya Khadijah kepada seluruh mahasiswa
“Alhamdulillah, sudah, Bu..” jawab mereka serempak
“Alhamdulillah, baik, kalau begitu kita segera mulai ya..”
“Siap, Bu…”
Khadijah merasa ada sedikit keanehan pada salah seorang mahaiswa yang tengah menutupi matanya dengan buku, namun lisannya tetap ikut menjawab. Ternyata ia adalah Arsil yang berniat tak ingin banyak memandang Khadijah namun tindakannya justru aneh dan konyol.
“Hey, kamu Arsil, kan? Kok matanya ditutupin? Lagi sakit?” Tanya Khadijah heran namun sopan
“E…e..enggak Bu, enak aja gelap…” jawab Arsil tak masuk akal
“Yang namanya ditutup pasti gelap, gak mungkin terang, Arsil.. ” sahut Khodijah dan lanjut berkata, “Buka ya, biar materinya paham..”
Semua Mahasiswa tertawa
“Ba..baik, Bu…” jawabnya ketakutan
Ketika Arsil melepaskan penutup dari matanya, seketika mereka berdua berdebar. Khadijah merasa ada bayanngan Raihan, sedangkan Arsil merasakan hatinya tidak asing memandang wajah Khadijah. Dengan spontan, mereka berdua segera beriatighfar dan mencoba merilexkan hati dan pikiran mereka.
…..
Usai materi, bel istirahat berbunyi. Arsil segera izin keluar duluan. Ia berlari mencari ketenangan di mushola kampus. Ia masih aneh dengan perasaannya sendiri. Dari dulu ia tidak pernah tertarik kepada perempuan, semenarik, sebaik dan sehebat apapun perempuan itu.
“Hentikan, Arsil..! Dia guru kamu, tidak patut kamu ada rasa yang aneh-aneh! Belum lagi mustahil bisa dapatkan dia, kamu masih bocah, ilmu masih minim dan harta pun gak ada. Mana ada pantesnya?!” Teriak Arsil dalam hatinya sendiri, lalu bergegas berwudhu lagi
Di waktu yang sama namun dengan tempat berbeda, Khadijah pun berkata dalam hatinya, “Jangan! Bertahun-tahun kamu mampu menahan hati dari rasa terhadap lelaki, masa begitu saja dilunturkan oleh seorang anak laki-laki yang masih sangat muda? Sadar diri, dan terus jaga kesetiaan. Ingat Kak Raihan hanya ada satu, dia bukan Kak Raihan..!”
…..
Setahun kemudian Arsil sudah memasuki semester 5, awalnya rektor akan meloncatkannya langsung ke semester 7, tetapi Arsil ingin merasakan nikmatnya berproses lebih lama. Akhirnya ia diizinkan untuk tetap di semesternya.
…..
Suatu ketika, saat istirahat tiba, seperti biasa Arsil melaksanakan duha di mushola kampus, baru lanjut menuju perpustakaan. Tak sengaja, Aisyah, salah seorang Mahasiswi baru yang viral akan kecantikan dan kemerduan suara serta cakapnya prestasi, hendak ke perpustakaan dan melintasi mushola beraama teman-temannya menyaksikan Arsil yang dengan khusyuk menghafal Al-Qur’an sambil memakai sepatu. Seketika, timbullah rasa kagum dalam hati Aisyah.
“Masyaallah…” ucap Aisyah “Lihat, dia siapa?” Sambungnya bertanya kepada teman-temannya
“Oh, itu Kak Arsil. Mahasiswa semester 5 yang genius itu…” jawab salah seorang temannya
“Iyakah, dia orangnya? Masyaallah tabarokallah…” ucap Aisyah sambil tersenyum semakin kagum
“Tapi denger-denger dia orang gak mampu dan agak culun gitu,” sahut temannya yang lain
“Semua manusia sama di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang menjadi pembeda, bukan harta apa lagi paras dan fisik.” Jawab Aisyah
…..
Beberapa bulan kemudian, ada undangan lomba Certas Cermat Islami seputar Al-Qur’an, hadits, tafsir, fiqh, tauhud dan tasawuf tingkat Mahasiswa Nasional. Dengan senang hati pihak kampus menerima undangan itu dan meminta agar Khadijah sebagai dosen pembimbing wanita dan Adrian sebagai pembimbing dosen laki-laki untuk mengurusi perlombaan tersebut dan menyeleksi dua tim yang terdiri atas 3 orang masing-masing tim. Dan yang terpilih di antaranya laki-laki : Arsil semester 5 dari fakultas tafsir qur’han-hadits, Aqwan semester 7 dari fakultas tasawuf dan Khairon semester 8 dari fakultas ushuluddin. Sedangkan yang perempuam yaitu : Aisyah semester 1 dari fakultas hadits, Azza semester 6 dari fakultas ilmu fiqh dan Miska semester 8 dari fakultas ilmu tauhid.
Perlombaan akan di lakdanakan pekan depan. Hendaknya para peserta mematangkan persiapannya dengan maksimal, mereka dianjurkan untuk belajar bersama antar dua tim bersama Pak Adrian dan Bu Khadijah. Arsil begitu semangat dengan wasilah adanya Khadijah, sedangkan Aisyah begitu semangat dengan wasilah adanya Arsil.
…..
Tiba saat perlombaan, alhamdulillah tim kampus Al-Adzkia mendapat kemenangan. Juara pertama oleh tim laki-laki dan juara ke-2 oleh tim perempuan, sedangkan juara ke-3nya dari kampus lain. Masing-masing penghargaan yang didapat yaitu piala, uang tunai sebesar 60 juta untuk juara pertama, piala dan uang tunai 40 juta untuk juara ke 2 serta piala dan uang tunai 20 juta untuk juara ke 3.
Saat sesi foto, pihak pengada lomba meminta agar disleing. Dosen wanita bersama tim laki-laki dan dosen lekaki bersama tim perempuan. Detak jantung mengencang kembali datang antara Khadijah dan Arsil, walau jarak foto mereka agak jauh namun tetap mereka berdua bersampingan.
Sepulang dari acara lomba, mereka mampir ke rumah makan untuk beristirahat sambal mengisi perut dan semuanya digratiskan oleh pihak kampus. Sesampainya di tempat tujuan, bukannya menanyakan meja makan keberapa kepada pelayan, Arsil justru malah menanyakan di mana letak mushola di tempat tersebut. Si pelayan pun memberi tahukannya.
“Bukannya ke waktu Ashar masih jauh, Arsil?” tanya Khadijah
“Iya bu, masih satu jam lagi.” Jawab Arsil sopan
“Lantas?”
“Hanya mau mampir sebentar saja. Silakan kalian duluan makan, nanti saya nyusul. Kalau gak keburu bungkus aja kalo boleh, hehehee. Permisi, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam…” jawab semuanya yang segera masuk ke dalam setelah langkah Arsil cukup menjauh
Khadijah dan Aisyah sedikit penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Arsil, lalu mereka berpura-pura ke kamar mandi. Setelah sampai di dekat mushola, Khodijah bersembunyi di balik jendela sebelah utara sedangkan Aisyah di jendela sebelah selatan yang masing-masing tidak saling mengetahui. Mereka menyaksikan Arsil yang dengan khusyuk berdo’a, bersujud dan dilanjutkan dengan memuroja’ah hafalan qur’annya. Tiba-tiba mereka berdua mengucurkan air mata, merasa sangat terharu dan semakin kagum.
Dialah Ahmad Arsil Habibi, seorang pemuda akhir zaman yang begitu mencintai firman-Nya hingga tak kenal waktu dan tempat, lisan terus melantunkannya. Seolah kalam Tuhan mendarah daging dalam dirinya.
…..
Bersambung….