(Part 4)
…..
-Satu pekan kemudian-
Waktu menunjukkan pukul 11:50. Mufti tengah memuroja’ah hafalan yang hendak disetorkan esok pagi. Karena seharian ia membantu Kiyai di ladang yang dilanjutkan dengan menyuci tiga mobil Kiyai sekaligus di waktu sore, ia pun baru sempat. Namun ditengah asyiknya menghafal, tiba-tiba lampu di kamarnya mati. Padahal saat ia lihat asrama lain menyala.
“Mungkin lampunya lagi rusak” pikirnya positif
Akhirnya ia rela menghafal dan memuroja’ah di samping tempat pembuangan sampah, karena itu satu-satunya tempat terang yang terletak dekat kamarnya.
Sambil menggelar karpet ia berkata dalam hati, “Ya Allah maafkan Mufti belajar di tempat seperti ini, karena di tempat lain semuanya dikunci. Semoga Engkau tetap ridho. Aamiin…”
Pukul menunjukkan waktu 01:30, tanpa sengaja ia terlelap tidur sedangkan kitabnya masih dalam kondisi terbuka.
Saat pukul menunjukan 03:00 (waktu tahajud) tiba dan pengurus ibadah hendak membangunkan para santri, ketika melewati dapur dan tempat sampah di dekat dapur, tiba-tiba salah satu dari mereka tersandung kaki yang ternyata kaki itu adalah kakinya Mufti. Mereka pun terkejut.
“Astagfirullah, Mufti?!” Ucap mereka spontan
Mufti pun segera bangun dengan setengah sadar dan lisan yang melafadzkan hafalan.
“Masyaallah… sempat-sempatnya..” ucap mereka
“Dek Mufti, bangun. Sebentar lagi tahajud.”
Mufti pun sadar
“Astagfirullah, aku ketiduran sih…?! Padahal belum lancar betul hafalannya…” ucapnya begitu sedih
“Kamu ngapain di sini?” Tanya pengurus lembut
“Menghafal, Kak. Lampu di kamarku mati jadi terpaksa di sini.”
“Kok mati? Padahal baik-baik saja, Muf…” tanya salah seorang pengurus merasa heran
“Coba kita cek saja.” Saran pengurus lainnya
“Iya kamu benar.”
Saat di cek, ternyata kabelnya putus. Mereka kebingungan dan berpikir, pasti ini ada unsur kesengajaan. Akhirnya mereka pun melaporkan hal tersebut kepada Rois Am (ketua pengurus).
“Kalaupun sengaja, kenapa? Untuk apa? Iseng atau bagaimana?” Tanya Rois
“Entahlah, tapi tega sekali kalau itu benar-benar sengaja.” Jawab salah seorang pengurus
“Menurut saya sih, ada yang iri sama prestasi Mufti jadi dia mau ngalangin Mufti buat belajar. Tapi wallahu a’lam, kita jangan su’udzhon dulu..” kata seorang pengurus lainnya
“Baik, nanti di waktu yang tepat kita cari tau sebabnya.” Ucap Rois
…..
Usai dari tahajud, Mufti segera menghafal kembali sampai menjelang waktu subuh. Dan ketika penyetoran tiba, ia berhasil setoran dengan sangat lancar.
“Terus istiqomah ya, Mufti!” Ucap Ustadzah pengetes hafalan
“Siap, insyaallah, Ustadzah. Mohon do’anya juga.” Jawab Mufti dengan lembut dan sopan
“Pasti, inysaallah.”
…..
-Di siang hari-
Dari jendela dapur dekat kamar, Mufti menyaksikan para santri lain yang tengah dijenguk oleh orang tua maupun saudara mereka. Ia pun berkata, “Kapan ya aku bisa ngerasain kebahagiaan kayak mereka?”
Bibi tukang masak yang tidak sengaja mendengar itu tiba-tiba meneteskan air mata, lalu menghampiri Mufti dan berkata, “Dek Mufti yang sabar ya… hmmm kalau Dek Mufti sudi, anggep aja Bibi ini Ibunya Dek Mufti…”
Mufti tersenyum dan segera menghapus air mata Bibi dengan tangannya sambil berkata, “Alhamdulillah, Aku seneng kalau bibi izinkan aku buat anggap bibi sebagai Ibu. Makasih ya Bi..”
Dalam hati Bibi berkata, “Ya Allah, anak sesoleh dan secerdas ini dambaan setiap orang tua. Kalau orang tuanya ada pasti sangat bangga dan bahagia punya anak seperti ini. Semoga Engkau memberi hikmah yang agung untuk anak ini… sayangi dia selalu Yaa Robb..”
Mufti melihat banyak sampah yang berserakan depan asrama mungkin karena banyaknya pengunjung.
“Bi, Bapak yang biasa bersih-bersih sampah ke mana?” Tanya Mufti
“Oh lagi ngumpulin sampah di pembuangan sampah belakang pondok soalnya mau ada truk sampah dateng, Dek..” jawab Bibi
“Oh gitu, yaudah aku aja deh yang beresin mumpung lagi senggang…” ucapnya dengan semangat sambil melangkah pergi
“Eh gak usah, Dek…” teriak Bibi
“Gak apa-apa, Bi…” teriak Mufti
…..
Mufti pun dengan semangatnya melapisi tong sampah-tong sampah di area pondok dengan pelastik, kemudian sampah-sampah yang berserakan ia kumpulkan di satu plastik besar yang langsung ia bawa ke tempat sampah utama yang terletak di belakang pesantren.
Usai dari itu, ia duduk santai di bangku taman pesantren samping pohon rindang. Tak sengaja ia melihat salah seorang santi yang sibuk memainkan ponselnya tanpa menghiraukan ajakan obrolan orangtuanya. Ia pun segera menghampiri dan mengambil ponsel dari genggaman santri itu.
“Heh apa-apaan kamu?! Balikin Hp-ku!” Ucap santri pemilik Hp itu
“Aku bakal balikin Hp-nya kalau kamu mau janji bakalan berlaku sopan sama orang tuamu.” Jawab Mufti dengan tegas
“Siapa kamu berani ngasih syarat begitu?!”
“Aku Mufti, santri sini juga, kamu pasti kenallah.. hehe.”
“Aku serius!”
“Aku juga serius!”
“Maaf, HP ini dibeli pake uang orang tuamu, hasil keringat orang tuamu dan mereka juga yang nyariinnya di toko Hp. Jadi kamu enak tinggal make. Iya, kan? Nah, kenapa kamu seenaknya nyuekin orang tua kamu gara-gara Hp? Hp cuma bisa nyenengin nafsu kamu doang, itu juga gak lama. Kesana-sananya bakalan bosen. Sedangkan orang tua kamu bisa ngasih semua yang kamu butuhkan bahkan yang kamu senengin atau pengenin!” Kata Mufti melanjutkan perkataannya
Semua orang yang mendengarkan, terutama para orang tua terkagum-kagum dengan apa yang diucapkan olehnya. Sedangkan para santri malu terhadap diri sendiri lalu beriatigfar.
Santri itu pun menunduk dan akhirnya meminta maaf kepada orang tuanya serta berterimakasih kepada Mufti atas tamparan nasehatnya.
“Sama-sama, tolong jangan diulangin lagi ya. Saya juga minta maaf kalau terlalu frontal.” Jawab Mufti dengan senyuman manisnya
(BERSAMBUNG)