(part 2)
….. Di hari itu, trik mentari begitu menyengat. Namun jadwal adalah jadwal yang harus dijalankan sesuai waktunya. Ya, hari ini adalah jadwal piket akbar. Di mana seluruh santri diwajibkan menjalankannya sesuai yang telah ditentukan. Tetapi karena panas hari ‘tak kira-kira’ banyak jiwa yang merasa keberatan, terlebih memang sedang berpuasa sunah kamis.
Sebagian menjalankan tugas dengan ogah-ogahan, ada yang menggerutu, asal-asalan, dll. Intinya ‘keikhlasan’ hampir tidak hadir seutuhnya dalam hati. Berbeda dengan santri baru yang berusia 13 tahun itu, Mufti. Ia tetap semangat dalam kerjaannya bahkan setelah selesai ia masih mencari-cari pekerjaan lainnya. Entah ia memang masih polos atau memang jiwa dan hatinya begitu bersih.
“Kakak-kakak santri kok pada selonjoran? Tanggung itu dikit lagi selesai.” Ucap Mufti dengan polos, niat menyemangati
“Kita capek, mana lagi puasa!” Jawab sebagian para santri
“Oh, gitu… tapi seru lho, kak.. hehee” ucapnya kembali lebih polos lagi
Semua yang menyaksikannya tercengang dan saling menatap, menganggap aneh.
“Mau aku bantu gak nih pekerjaannya? Tapi jangan lebih dari lima pekerjaan, soalnya aku mau memuroja’ah hafalan..”
Mereka pun segera berebut dan Mufti kebingungan.
“Yaudah, gini deh… biar semuanya kebagian, aku bantuinnya setengah-setengah aja. Gak apa-apa, ya?” Saran Mufti
“Oke siap…!!”
Mufti pun dengan ikhlasnya membantu pekerjaan mereka hingga keringat tak kunjung berhenti membasahi tubuhnya sampai bajunya bagaikan terguyur hujan.
… Setelah dua jam Mufti mengerjakan pekerjaan tambahan, ia pun izin untuk istirahat ke asrama. Namun sebelum itu mereka yang dibantu olehnya memberikan uang sekitar 15000-20000 sebagai tanda terima kasih. Awalnya ia menolak, tetapi mereka memohon untuk diterima. Akhirnya dengan berat hati ia menerimanya.
Sesampainya di asrama ia segera mengganti pakaian, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya yang dilanjutkan dengan berwudhu. Ya, tanpa jeda ia segera memuroja’ah hafalannya hingga satu jam yang biasanya ia lakukan dua jam, tetapi karena sangat capek ia kurangi untuk hari ini.
…. Tiba waktunya berbuka puasa, Mufti dipanggil utusan Kiyai untuk menghadap. Belum sempat ia meneguk air pun, ia segera memenuhi panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, pak kiyai. Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Ucapnya dengan sangat santun sambil membungkukkan badannya
“Wa’alaikumussalam. Iya, ada, Muf. Tolong kamu bantu bibi yang sedang masak untuk mengangkut makanan ke meja makan saya, ya.”
“Baik, Pak Kiyai.”
Mufti segera menuju dapur. Dengan semangat dan hati-hati ia membawa setiap makanan ke meja makan bersama bibi masak khusus rumah Kiyai.
Usai merapikan meja makan, Mufti hendak izin untuk berbuka puasa ke asrama bersama para santri lainnya.
“Tidak, kamu tidak saya izinkan.” Ucap Kiyai
“Baik Pak, saya tidak akan ke asrama sampai Bapak mengizinkan.” Ucapnya dengan ikhlas sambil menahan gemetar tubuh karena lapar
“(Tersenyum) sini duduk samping saya.” Pinta Kiyai
Mufti segera mendekat dan duduk di bawah bangku Kiyai
“Lho, siapa yang menyuruhmu duduk si situ? Kan kata saya duduklah di samping saya. Berarti di kursi yang terletak di samping saya, Mufti…”
“Maaf, Pak. Bukan saya menolak, tapi saya takut tidak sopan.”
“Justru kalau kamu tidak menuruti saya, kamu lebih tidak sopan.”
Mufti pun ketakutan dan langsung duduk di kursi yang telah disediakan sambil membungkukkan badannya.
“Yang benar duduknya, tegap, kamu itu laki-laki!”
“Baik, Pak Kiyai.”
“Ini makanan khusus dibuat bibi untuk kamu. Harus habis!”
“Tapi pak…”
“Tapi??!!”
“Mmmm maksud saya terimakasih banyak Pak Kiyai, Bu Nyai dan Bibi.”
“Ke kita gak berterimakasih?” Tanya anak-anak Kiyai
“Oh, pasti.. terimakasih banyak juga…”
Mereka pun tertawa.
….. Usai makan, Mufti segera membereskan bekas makanannya dan yang lainnya.
“Mau kamu ke manakan itu?” Tanya Kiyai
“Ke dapurkan, mau saya cuci, Pak Kiyai.”
“Memangnya saya memerintahkan kamu?”
“Tidak,”
“Yasudah, berarti jangan! Sekarang kamu cuci tangan lalu kembali ke asrama, laksanakan sholat maghrib berjama’ah dan dilanjutkan dengan wirid serta tadarus Al-Qur’an!”
“Baik, Pak Kiyai.”
… Sesampainya di asrama.
“Mufti, kamu ke mana aja? Buka puasa sana! Itu makanannya di kamar kamu, tadi kami tunggu tapi kamu gak dateng-dateng.”
“Maaf, Kak. Saya dipanggil Pak Kiyai.”
“Oh yasudah cepetan makan, lima menit lagi jama’ah mau dimulai!”
“Baik, Kak.”
Mufti berlari ke tempat wudhu kemudian segera ganti pakaian sholat dan menunju ke Masjid.
“Kok kamu langsung ke masjid, bukannya belum buka puasa?”
“Alhamdulillah sudah kok, kak.”
“Kapan? Di mana?”
“Tadi, di rumah Pak Kiyai.”
Semua santri terkejut. Mereka bertanya-tanya, kok bisa? Apa karena dia satu-satunya santri paling kecil?
“Heh, cepat kalian ke masjid. Sholat akan segera dimulai!” Ucap pengurus keamanan
“Baik, Kak.”
Mereka pun segera berlari menuju masjid
Sesampainya di masjid…
“Mufti, kamu maju. Sudah disediakan tempat untukmu!” Ucap pengurus ibadah
“Maju? Tapi saya kan telat, bukannya shaf sholat bagaimana yang datang, Kak?” Tanya Mufti bingung
“Sudah jangan banyak tanya, itu sudah diperintahkan Pak Kiyai!”
“Oh begitu, baik, Kak.”
Para santri lainnya yang mendengar semakin merasa aneh
Ternyata Mufti ditempatkan shaf yang paling depan sebelah kanan Kiyai. Tempat yang sangat didambakan oleh semua orang. Biasanya hanya para Asatidz yang dapat menempati shaf paling depan apalagi sebelah kanan Kiyai.
“Mufti,” panggil Kiyai
“Iya, pak?” Jawabnya santun
“Iqomah!”
Mufti dan yang lainnya terkejut
“Iii..iqomah, Pak Kiyai?”
“Iya, kamu sudah satu bulan mondok masa belum bisa?!”
“Bisa pak, insyaallah.”
“Yasudah cepat iqomah!”
“Baik, Pak Kiyai.”
Para santri lainnya yang jiwa dan hatinya belum bersih seutuhnya, menyaksikan hal itu timbul rasa jengkel dan dengki.
(BERSAMBUNG)