Seperti biasanya, weker berdering setiap pukul 03:00 WIB. Yang artinya seluruh santri wajib membuka kelopak matanya dan melaksanakan shalat tahajud. Namun, kali ini tidak begitu kompak. Ada tiga orang santri putri bernama Iqrani, Ayla dan Khanza yang masih terjebak di zona nyaman alias tertidur pulas, karena memang semalam turun hujan dan menghafal hingga larut. Akhirnya, mereka dibangunkan secara paksa (disiram dengan air dingin) oleh pengurus keamanan. Mereka pun terkejut dan segera beranjak dari kasurnya, tetapi mereka berjalan dengan setengah sadar dan dalam kondisi mata yang terpejam. Alhasil, Iqrani kejedot pintu, Ayla kesandung batu dan Khanza salah jalan malah ke tempat jemuran yang akhirnya salah satu celana milik pengurus kebersihan nyangkut di kepalanya.
“Tolong-tolong, ada yang mau nyulik sayaaa…!” teriak Khanza dengan histeris.
Para santri yang menyaksikannya tertawa geli
Pengurus kebersihan menghampirinya dan mengambil celana itu sambil berkata, “Ini celana saya, ngapain kepalamu masuk?!”
Santri itu membuka matanya dan tercengang
“O’owww…, saya kira ada yang mau nyulik saya, tau-taunya kepala saya nyangkut ke celana teteh.. Hehee… maafin ya teh, saya enggak sengaja…”
“Awas kalau diulangi lagi, saya laporin kamu ke roisah!” kata pengurus kebersihan sambil berlalu
“Siap teh, siap…” jawabnya sambil nyengir kuda
“Makanya jangan merem mulu…..” ucap salah seorang temannya
“Huuuuuuu” sorak teman santri yang lain
Dengan polos Khanza malah melambaikan tangannya dan berkata, “Masyaa Allah, saya baru tau kalau saya punya banyak fanz. Tenang semua, nanti saya kasih tanda tangan satu per satu, okeee…”
Mereka semua beristighfar dan segera meninggalkannya menuju majelis untuk melaksanakan shalat tahajud dan tadarus bersama.
Sebelum tadarus, para santri berdo’a bersama dengan khusyuk. Berbeda dengan Khanza yang berdo’a dengan lantang dan meng-aamiin-kan do’anya sendiri berulang kali.
“Ya Allah, jadikan hamba muslimah sholehah yang multitalenta. Aamiin. Yang banyak uang, per-bulan satu miliar. Aamiin. Bisa memberangkatkan orang tua ke Makkah tahun depan. Aamiin. Dan nanti nikah sama anak Ajengan besar yang sholeh dan berilmu tinggi. Aamiin ya robbal’alamiin…”
Semua santri menoleh kepadanya, dan Ia balas dengan senyum unjuk gigi yang lebar.
“Jangan mimpi tinggi-tinggi, nanti kalau jatoh sakit!” kata salah seorang santri yang satu shaf dengannya
“Lah kata siapa jatoh itu enak, teh? Eh enak sih kalau jatohnya di kasur yang empuk mah.” Kata Khanza polos
Santri itu gereget kepadanya.
***
Para santri bertadarus sampai menjelang adzan subuh. Kemudian dilanjut dengan shalat subuh berjama’ah. Usai itu mereka mengaji subuh sampai pukul 07:00. Ketika pengajian berlangsung, Khanza kebingungan dengan pembahasan yang tengah dijelaskan oleh Sang Kiyai. Ia pun pukuli kepalanya pelan sambil membaca sholawat berulang kali, guna memohon pemahaman kepada Sang Maha’Alim. Dan beberapa menit kemudian ia pun paham.
“Alhamdulillah, Ya Allah… Makasih banyak…!” ucapnya bahagia. Membuat semua orang yang berada di pengajian itu terkejut dan heran
“Afwan, Pak Kiyai, Akhi, Ukti semua.” Ucapnya kembali, meminta maaf.
“Ta’ali yaa Khanza, syur’ah!” pinta Sang Kiyai
Khanza segera memenuhi permintaan Sang Kiyai. Ia maju ke depan sambil menunduk karena ta’dzhim dan merasa bersalah. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan.
Orang-orang yang tidak menyukainya merasa senang karena berpikir bahwa Khanja akan dihukum.
“Lain kali, kalau tidak paham tanyakan saja, tidak usah sungkan, ya?” ucap Sang Kiyai lembut.
Khanza tercengang dan bersyukur.
“Baik, Pak Kiyai. Siap, insya Allah. Terima kasih banyak.” Jawab Khanza sopan
“Iya, silakan kembali duduk.”
Khanza pun segera kembali ke tempat duduknya dan mereka yang tek menyukainya kembali geram.
***
Siang harinya, ada pemberitahuan dari Roisah bahwa Ibunya menelpon. Khanza sangat bahagia, ia mengira Ibunya akan mengirimi uang bayaran dan uang jajan karena sudah ada rezeki lebih. Maklum, selama tiga bulan ia tidak diberi uang sama sekali oleh ibunya karena faktor ekonomi yang tidak memadai, sehingga per-hari ia jajan hanya dua ribu rupiah. Namun dugaannya salah. Ternyata Ibunya menghubunginya karena memintanya untuk berhenti mondok. Ibunya malu kepada Yayasan karena sudah lama nunggak bayaran SPP Pondok. Mendengar berita itu, bola mata Khanza berkaca-kaca. Bagaimana tidak, selama mondok ia belum bisa banyak memahami dan menghafal pelajaran karena memang ia tidak tergolong santri yang cerdas. Ia tidak mau pulang tanpa membawa ilmu. Lalu ia pun mencoba tegar.
“Ibu, Khanza bukan gak mau nurut sama Ibu, tapi Khanza sayang sama Ibu. Jadi izinkan Khanza untuk tetep Mondok, ya. Insya allah rezeki mah ada kok, Khanza punya uang sendiri. Di sini temen-temen Khanza pada baik. Alhamdulillah tiap hari bisa jajan. Nanti Khanza bakalan nabung lebih deh buat bayar SPP juga.” Ucap Khanza dengan lebut berusaha menyenangkan hati Ibunya, padahal setiap hari ia kelaparan.
“Alhamdulillah kalau begitu, baiklah. Silakan kamu lanjut mondok, Nak. Do’akan Ibu agar sebentar lagi ada rizki untuk menambah bayaran SPPmu.”
“Siap…! Itu mah selalu atuh, hehe…”
“Yasudah, silakan kamu belajar lagi. Harus rajin, sungguh-sungguh dan jaga kesehatan juga akhlak ya. Wassalamu’alaikum.”
“Aamiin, oke, insyaa Allah, Ibuku sayang. Jaga kesehatan juga yaa.. Wa’alaikumussalam warohmatullah.”
Setelah menutup telpon, air mata Khanza seketika itu tertumpah. Kini ia berpikir keras untuk dapat bertahan hidup di Pondok dan bisa membayar SPP sendiri.
Khanza memutuskan untuk mencari uang dengan cara menyuci dan menggosok baju teman-temannya, membuat kerajinan tangan berupa melukis, menulis kaligrafi dan grafity. Alhamdulillah selama sepekan ia berhasil mengumpulkan uang dua ratus ribu rupiah. Yang seratus ribu ia pakai untuk cicilan SPP, yang lima puluh ribu ia tabung untuk Orangtuanya di kampung dan yang lima puluh ribu lagi untuknya jajan selama dua minggu.
Namun ia juga tidak lupa kewajibannya sebagai santri. Ia tetap menghafal sambil bekerja, khidmat kepada guru dan selalu tepat waktu mengikuti pengajian. Hingga akhirnya berat badannya semakin turun. Ditambah lagi ia sering dibully oleh yang tidak menyukainya. Yang selalu sengaja mengotori baju agar susah dicuci oleh Khanza. Bahkan pernah merobek baju dan menuduh Khanza tidak becus kerja, lalu tidak dibayar dan malah dimarah-marahi.
“Sabar ya, Za. Semoga Allah sediakan kebahagiaan besar untukmu di gerbang kesuksesan.” ucap teman dekat Khanza sambil merangkul, menguatkan dan menangkan.
“Aamiin, siap, insya Allah…!” ucap Khanza dengan semangat tanpa rasa sedih atas apa yang ia alami
***
Khanza kembali membuat kerajinan. Kali ini ia mencoba izin ke Roisah agar diberi waktu satu jam saja untuk menjual kerajinannya itu di luar Pesantren. Roisah sedikit keberatan, lalu izin kepada Sang Kiyai dan akhirnya diberi izin. Dengan semangat Khanza segera berangkat. Ia tapaki jalanan tanpa kendaraan. Ia tawarkan kepada orang-orang di sepanjang jalan, dan sudah hampir satu jam tidak ada yang membelinya sama sekali. Ia tidak menyerah sedikit pun. Ia terus menelusuri jalanan. Tiba-tiba ada sebuah mobil mewah yang melintasi jalanan itu. Kebetulan saat itu Khanza tersandung batu yang cukup besar yang mengakibatkan beberapa kerajinannya berhamparan di tengah jalan dan tidak sengaja terlindas oleh ban mobil mewah itu. Hati Khanza seketika meremuk dan bola matanya berkaca-kaca. Ia pun mengambil potongan-potongan kerajinannya itu dan hanya tersisa dua yang masih utuh. Si pengendara mobil mewah itu menghentikan laju mobilnya. Ia keluar dari mobilnya dan menghampiri Khanza.
“Astagfirullah, maafkan saya, Dek. Rusak semua ya barang-barangnya?” ucap si pemilik mobil merasa bersalah
“Tidak apa-apa kok, alhamdulillah masih nyisa dua yang masih utuh.”
“Saya ganti dengan uang, ya?”
“Tidak usah itukan tidak sengaja. Kalau mau dibeli saja yang masih utuh.”
“Hmmm baik, saya mau beli dua-duanya. Berapa harganya?”
“Satunya lima puluh ribu.”
“Kerajinan sebagus ini lima puluh ribu? Kalau di toko-toko besar itu kisaran lima juta, lho.”
“Saya kan bukan seniman, cuma nyoba-nyoba aja.”
Akhirnya Aqli (si pemilik mobil mewah) memberikan dua ratus ribu. Khanza mengucapkan terimakasih dan segera pulang ke Pondok Pesantren. Aqli memperhatikan kerajinan itu dengan cermat, ternyata memang sangat unik dan bagus. Ia pun memoto lalu mempostingnya di Instagram dengan caption “Karya seni yang cantik dan unik. Ada yang minat? Berani dengan harga berapa?”
Dari followers 150RB, yang meng-like sebanyak 100.000 dan tembus 47.000 komentar. Ada yang mengajukan harga mulai 3 juta sampai 20 juta. Dengan demikian, Aqli ingin mencari si pengrajin itu (Khanza) dan mengajak bekerja sama. Untungnya, di kerajinan itu terdapat nama pengrajin, nama pesantren dan alamat. Ia pun segera mendatangi Pondok Pesantren tersebut.
***
Ketika Aqli sampai di Pondok Pesantren itu, ia terkejut. Ternyata pimpinannya adalah murid dari Ayahnya. Sehingga kedatangannya disambut dengan baik. Setelah berbincang-bincang, ia segera menyatakan tujuan kedatangannya. Kemudian Sang Kiyai meminta kepada pengurus untuk memanggilkan Khanza.
Beberapa menit kemudian Khanza tiba. Sang Kiyai menjelaskan siapa itu Aqli dan apa tujuannya ingin menemuinya. Kemudian disambung dengan Aqli yang menjekaskan tentang karya seni Khanza. Khanza sangat terkejut dan bersyukur.
“Silakan, Khanza, jika kamu ingin berbisnis bersama Ustadz Aqli, saya izinkan.” Kata Sang Kiyai
“Subhanallah, terima kasih banyak, Pak Kiyai.” Ucap Khanza
***
Mulai saat ini mereka berbisnis kerajinan bersama, dan mendapatkan omset puluhan hingga ratusan juta per-bulan. Bahkan ketika memasuki tahun berikutnya melonjak hingga mencapai satu miliar. Kini Khanza menjadi seniman yang mahsyur. Dan setelah Khanza lulus mondok, Aqli melamarnya. Aqli memutuskan hal itu bukan karena Khanza seorang seniman yang sukses, namun lebih kepada akhlaknya yang cantik, keuletannya dan kesungguhannya.
Setelah menikah, Khanza bukan hanya mahir dalam berkarya namun mahir juga dalam ilmu agama, karena Aqli mendidiknya dengan baik. Alhamdulillah, apa yang dulu Khanza do’akan dalam setiap sujudnya telah Allah SWT kabulkan.
***
SELESAI
Cerpen By : 😺Syifa Garfield😸
( SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL )